Lele merupakan jenis ikan yang sudah menyebar di banyak negara di dunia. Sedikitnya dikenal 56 spesies lele yang telah terdaftar. Lele ini mempunyai banyak keunikan sehingga mendapatkan banyak julukan seperti walking fish, cat fish, air breathing fish, scavenger dll.
Indonesia memiliki 6 jenis lele dari ke-56 jenis lele yang terdaftar di dunia yaitu : Clarias batrachus, Clarias teysmani, Clarias melanoderma, Clarias nieuhofi, Clarias loiacanthus, dan Clarias gariepinus.
· Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatra Barat), ikan maut (Sumatra Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan).
· Clarias teysmani, dikenal sebagai lele Kembang (Jawa Barat), Kalang putih (Padang).
· Clarias melanoderma, yang dikenal sebagai ikan duri (Sumatra Selatan), wais (Jawa Tengah), wiru (Jawa Barat).
· Clarias nieuhofi, yang dikenal sebagai ikan lindi (Jawa), limbat (Sumatra Barat), kaleh (Kalimantan Selatan).
· Clarias loiacanthus, yang dikenal sebagai ikan keli (Sumatra Barat), ikan penang (Kalimantan Timur).
· Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai lele Dumbo (Lele Domba), King cat fish, berasal dari Afrika (Anonim, 2007).
MENGENAL LELE DUMBO
Lele dumbo yang bernama ilmiah Clarias geriepinus kedatangannya ke Indonesia sekitar bulan November 1986 dari Negara Taiwan sehingga dapat dikatakan bahwa lele baru 7 tahun di negri ini. Jenis lele ini termasuk hibrida dan pertumbuhan tubuhnya cupuk spektakuler baik panjang maupun berat tubuhnya. Dari hasil uji coba selama 24 mingu (5-6 bulan) di kolam 100 m2 dari benih berukuran 5-8 cm dapat mencapi berat 180-200 gram/ ekor, sedangkan lele lokal (clarias batracus) paling tinggi mempunyai berat 40-50 gram/ ekor. Hal ini berarti pertumbuhan lele dumbo dapat 4 kali pertumbuhan lele lokal (Santoso, 1993).
Sistematika lele dumbo
Phulum :Chordata (hewan bertulang punggung)
Klas : Pisces (bangsa ikan yang memiliki lembaran-lembaran ingsang untuk bernafas)
Subklas :Teleostei (ikan bertulang belakang)
OrdO :Ostariophysi (ikan yang di dalam rongga perut nagian atas terdapat tulang belakang yang disebut tulang weber sebagai alat pelengkap untuk fungsi keseimbangan)
Subordo : Siluroidea (ikan yang bercirikan tubuh memanjang, tidak bersisik)
FamilI :Clariidae (kelompok ikan yang mempunyai kepala gepeng, sungut empat pasang, sirip dada, berpatil, serta mempunyai alat pernafasan tambahan)
Genus : Clarias
Spesies : Clarias geriepinus (hasil identifikasi BBAT Sukabumi)
Nama Inggris : King catfish atau raja ikan lele
Asal :Benua Afrika
(Susanto, 1988)
A. Ciri-ciri morfologis
Ciri-ciri khusus lele dombo dapat dilihat dari beberapa bagian tubuhnya antara lain : Bentuk tubuhnya memanjang, bagian kepala gepeng atau pipih, batok kepala umumnya keras dan meruncing kebelakang (Santoso, 1993).
Berbeda dengan jenis ikan konsumsi lainnya, seperti nila (Orechromis niloticus), ikan mas (Cyprinus carpio) yang mempunyai sisik, ikan lele tidak mempunyai sisik mulai dari ujung moncong mulut hingga bagian ekor. Meskipun tidak memeiliki sisik lele tetap licin apabila di pegang, hal ini dikarenakan lele mempunyai lender (Santoso, 1993).
Lele dumbo akan menjadi pucat apabila terkena sinar matahari, tubuh lele dumbo juga akan dipenuhi dengan bintik-bintik hitam jika mengaklami stress (Santoso, 1993).
Lele dumbo dengan mulutnya yang lebar dapat menghisap makanan organisme di dasar perairan dan makana buatan. Bahkan dengan gigi-gignya yang tajam ia sanggup menghabiskan bangkai dengan cara mencabik-cabik. Seekor lele dumbo yang mempunyai berat kurang lebih 200 g, panjang 30 cm besar lingkaran mulutnya adalah 7,5 cm memungkinkan baginya menelan ikan lain yang berukuran 8-10 cm. Selain mengenal mengsanya dengan alat penciuman, lele dumbo dapat mengenal dan menemukan makanan dengan rabab (tentakel) dengan menggerak-gerakan salah satu sungutnya terutama mandibular (Santoso, 1993).
Ciri morfologis lele dumbo yang lain adalah sungutnya. Sungut ini berada di sekitar mulut berjumlah delapan buah atau empat pasang terdiri dari sungut nasal dua buah, sungut mandibular luar luar dua buah, amndibular dalam dua buah,sertra sungut maxilar dua buah (Santoso, 1993).
Lele dumbo juga mempunyai lima buah sirip yang terditrri dari sirip pasangan (ganda) dan sirip tunggal. Yang berpasangan adalah sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral). Sedangklan yang tunggal adalah sirip sirip punggung (dorsal), ekor (caudal) serta sirip dubur (anal). Pada sirip dada dilengkapi dengan patil atau taji tidak beracun. Dibandingkan lele local, patil lele dumbo lebih pendek dan tumpul. Selain kemampuan meloloskan diri dari kolam piaraan dengan cara melompat, ia pun sanggup merangklap-rangkak (gerakan zig-zag) di atas tanah tanpa air dalam waktu lama asalkan lembab (Santoso, 1993).
Perbedaan Lele Jantan dan Betina
Lele Jantan
Kelamin = Runcing
Bentuk Perut = Perut ramping, jika diurut keluar cairan putih
Gerakan = Lincah
Bentuk kepal = Pipih, warna gelap
Lele Betina
Kelamin = Bulat
Bentuk Perut = Perut gendut, kemerahan, jika diurut keluar cairan bening
Gerakan = Lambat
B. Habitat lingkungan hidup
Semua perairan tawar dapat menjadi lingkungan hidup atau habitat lele dumbo. Misalnya waduk, bendungan, danau, rawa, maupun genangan air tawar lainnya. Di alam bebas, lele dumbo ini memang lebih menyukai air yang arusnya megalir secara perlahan atau lambat. Terhadap aliran air yang deras lele dumbo kurang menyukainya. Oleh karena itu sungai yang aliran airnya lambat sering terdapat ikan lele (Santoso, 1993).
Walaupun lele dumbo jelas mendiami perairan tawar, namun sering pula terdapat pada perairan agak asin atau payau. Hal ini terbukti di darah tanjung priok Jakarta utara, banyak warga memanfaaatkan semacam genangan air payau untuk usaha pembesaran lele dumbo. Lele dumbo asal afrika ternyata sangat toleransi terhadap suhu air yang cukup tinggi yaitu 20°C-35°C. Disamping itu, ia dapat hidup pada kondisi lingkungan perairan yang jelek. Dengan kata lain, kondisi air yang kandungan oksigennya sangat minim lele dumbo masih dapoat bertahan hidup, karena lele dumbo memiliki alat pernafasan tambahan yang disebut organ arborscent (Santoso, 1993).
C. Sifat
Pada siang hari lele dumbo jarang menampakkan aktivitasnya dan lebih menyukai tempat yang bersuasana sejuk dan gelap. Hal ini sesuai dengan salah satu sifatnya yang nocturnal (aktif pada malam hari). Untuk mencari makan pun biasanya dilakukan pada malam hari. Namun, kolam-kolam budidaya lel dumbo dapat dibiasakan diberi makan pada siang hari (Santoso, 1993).
Lele dumbo terkenal rakus, karena mempunyai ukuran tubuh yang relatif besar sehingga mampu menyantap makanan alami di dasar perairan dan pakan buatan seperti pellet. Oleh karena itu, lele dumbo sering dikategorikan sebagai hewan pemakan segala (omnivore). Makan berupa bangkai seperti ayam, bebek, angsa dan bangkai lainnya dilahap dengan menggunkakan giginya yang terletak pada rahang dan mencabik-cabik bangkai itu hingga habis tersisa tulang-tulangnya saja. Maka, lele dumbo juga dikenal sebagai pemakan bangkai atau scavenger. Dikolam budidaya lele dumbo lele dumbo mau menerima segala jenis makan yang diperuntukan untuknya (Santoso, 1993).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPPAT (Balai Penelitian Perikanan Air Tawar) di Bogor Jawa barat sifat fisik lele dumbo antara lain : patilnya tidak berbisa sehingga aman jika dipegang dengan tangan kosong, mempunyai gerakan yang lebih agresif, tidak merusak pematang, dan seluruh tubuhnya menjadi loreng jika menderita loreng atau terkejut (Santoso, 1993).
Dari sudut perkembangbiakan, lele dumbo mencapai dewasa setelah berumur 2-3 tahun dan memijah selama musim hujan dan akhir musim hujan. Sedangakan di kolam-kolam budidaya dapat mencapai dewasa kelamin relatif lebih singkat jika dibandingkandengan di alam yaitu 7-10 bulan dengan kisaran berat 200-500 g/ekor. Biasanya meletakkan seluruh telurnya pada berbagai substrat seperti rumput dan daun namaun adakalanya menempelkan telurnya pada bebatuan yang kedalam airnya sekitar 10 cm dan berarus tidak deras atau tenang. Telur-telur yang dikeluarkan oleh induk betina segera dibuahi induk jantan dengan mengeluarkan cairan sperma di dalam air. Jika proses perkawianan selesai, maka mereka segera meninggalkan telur dan mencari tempat baru setelah berselang beberapa minggu (Santoso, 1993).
Dalam tempo 24-36 jam (tergantung suhu air) seluruh telur akan menetas menjadi benih. Selama beberapa hari setelah penetasan, bayi-bayi lele dumbo belum membutuhkan makan karena masih mempunyai cadangan makan di dalam tubuhnya dan mencari perlindungan di sekitar tumbuhan air yang ada (Santoso, 1993).
MEMIJAHKAN LELE DUMBO
Usaha budidaya ikan lele dapat dibedakan menjadi dua macam kegiatan pokok, yaitu pembenihan dan pembesaran. Berdasarkan tujuannya usaha pembenihan dimaksudkan untuk menghasilkan benih sampai ukuran tertentu. Sedangkan usaha pembesaran dimaksudkan untuk menghasilkan ikan sampai ukuran konsumsi. Pembenihan ikan lele mempunyai berbagai macam cara. Secara umum cara pembenihan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : Pembenihan sistim masal, Pembenihan sistim pasangan, dan Pembenihan sistim suntik (hypofisasi).
1. Pembenihan sistim masal
Pembenihan sistim masal artinya membenihkan ikan lele dalam kolam dengan jumlah yang banyak sesuai dengan yang diinginkan. Pembenihan sistim masal ini berbeda-beda di tiap daerah. Menurut Susanto (1988) bahwa sedikitnya terdapat lima metode dalam pembenihan masal yaitu sistim Ciganjur, sistim Sukabumi, sistim cianjur, sistim Blitar, dan sistim Cibinong.
2. Pembenihan sistim pasangan
Pembenihan sistim pasangan merupakan pembenihan dengan cara menempatkan induk lele secara berpasangan dalam sebuah wadah pemijahan yang relative sempit. Sama halnya dengan sistim masal bahwa sistim ini memiliki berbagai macam metode. Terdapat sedikitnya lima metode pembenihan sistim pasangan ini yaitu : sistim Ciganjur, sistim Cibinong yang Diperbaiki, sistim sirkulasi, sistim air dalam, dan sistim ember (Susanto, 1988).
3. Pembenihan sistim suntik (hypofisasi)
Lele dombo selain dapat dipijahkan ssecara alami dpapt juga dipijahkan dengan cara sistim suntik atau induced spawning menggunkan kelenjar hypofisa.
Kelenjar hipofisa merupakan tempat produksi hormon-hormon yang penting untuk perkembangan dan pematangan gonad. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar ini diantaranya luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), LHRHa, dan adrenocorticotropic hormone (ACTH) (Lee et al., 1986).
Aplikasi hormon terhadap pematangan gonad telah banyak dilaporkan. Beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan antara lain; penggunaan pineal dan melatonin pada ikan lele, Clarias batrachus yang memberikan suatu indikasi bahwa melatonin menstimulir eritropoisis ikan lele pada fase siklus pematangan gonad. Secara umum pineal dan melatonin mempengaruhi variable darah pada masa pematangan gonad dan juga bekerja pada tiroid (Shedpure & Pati, 1996).
Dengan rekayasa hormon, pemijahan tidak lagi bergantung pada induk ikan matang telur yang biasanya terjadi pada musim-musim tertentu (Jhonny et al., 2005). Selain itu, pemijahan secara buatan ini juga dapat meningkatkan produksi benih, menjamin ketersediaan benih secara terkendali serta menekan kematian benih karena lingkungan hidup mereka diatur dengan lebih baik.
Tahapan proses kawin suntik ini adalah sebagai berikut :
1. Mempersiapkan induk
Bagi induk betina yang akan diurut perutnya supaya keluar telur-telurnya harus dinyatakan matang telur dan dewasa. Tanda-tanda tersebut dapat diketahui apabila pada bagian perut tampak gendut dan terasa lembek jika diraba dengan tangan. Selain itu, pada bagian anusnya berwarna kemerahan. Induk jantan yang nantinya akan diambil spermanya memiiiki tanda-tanda apabila bagian perutnya diurut kearah ekor akan mengeluarkan cairan putih mirip santan kelapa (Santoso, 1993).
Sistim suntuk bagi induk betina mutlak memerlukan ikan donor untuk diambil kelenjar hypofisanya. Pengambilan kelenjar ini dilakukan memotong kepalan ikan tersebut (Santoso, 1993).
2. Membuat larutan hypofisa
Ikan donor yang diambil hypofisanya minimal harus mempunyai berat ± 500 g. Ikan donor dapat dapat menggunkan lele/ ikan mas jantan maupun betina. Hypofis yang diperlukan adalah 3 dosis, artinya seekor induk betina dumbo yang mempunyai berat 1 kg memerlukan kelenjar hypofisa dari ikan donor yang mempunyai berat 3 kg. Lele dumbo seberata 3 kg ini umumnya berjumlah 2 ekor (1,5 kg dan 1,5 kg) atau 3 ekor yang masing-masing 1 kg (Santoso, 1993).
Mula-mula harus disediakan pisau tajam agar dapat dengan mudah memenggal ikan donor pada bagian tengkuknya sehingga terpisah antara bagian kepala dan tubuhnya. Kemudian kepala ikan donor diletakkan dengan bagian mulut mengarah ke atas. Tulang kepala juga harus dipotong dari lubang hidung mengarah ke bawah sampai tengkorak terbuka. Bagian otak dan organ lainnya yang tampak disingkirkan sampai tampak kelenjar hypofisa yang berwarna putih sebesar merica (Santoso, 1993).
Dengan menggunkan pinset secara hati-hati kelenjar hipofisa dapat diambil dan dimasukan kedalam tabung penggerus yang berisi 2 ml larutan fisiologis, lalu tambahkan aqua bides sebanyak 1-1,5 ml. Larutan ini kemudian dimasukan alat centrifuge untuk diendapkan selama 1-2 menit. Setelah diputrar-putrar secukupnya, segera tampak bagian yang mengendap di dasar dan cairan bening diatasnya. Cairan bening inilah yang diambil dengan alat penyuntik (Santoso, 1993).
3. Menyuntik induk
Umumnya ada tiga cara menyuntik induk untuk pemijahan buatan yaitu intra muscular, intra peritoneal, dan intra cranial. Untuk penyuntikan lele dumbo biasanya dilakukan dengan cara intra muscular (Santoso, 1993).
Larutan kelenjar hypofisa 3 dosis tadi diambil dengan sepet, ⅓nya disuntik pada induk betina (suntikan ke-1). Setelah penyuntikan pertama induk dilepas kembali ke wadah yang telah disediakan, biasanya digunakan hapa dengan maksud induk mudah ditangkap kembali. Empat jam kemudian dari penyuntikan pertama, sisa larutan kelenjar hipofisa (⅔) disuntikan kembali pada induk betina (suntikan ke-2). Setelah penyunitknma ini induk dimasukan kembali ke dalam hapa. Setelah 3 jam dari penyunitkan ke-2 atau 7 jam dari penyuntikan pertama, induk betina dapat diurut perutnya untuk dikeluarkan telurnya (Santoso, 1993).
Cara menyuntik yang baik dan benar agar berhasil yaitu dilakukan dengan cara merestrain agar induk betina tidak banyak bergerak (kopat-kapit) dengan jalan membungkus bagian kepala dengan kain halus atau kain handuk. Setelah tidak berdaya, tusukan jarum suntik di bagian otot punggung miring kira-kira 30-40 derajat sedalam 2-2,5 cm. Selesai penyuntikan, baik pertama maupun kedua bekas suntikan hendaknya digosok-gosok dengan ibu jari agar cairan kelenjar hypofisa tersebar merata (Santoso, 1993).
4. Menetaskan telur
Sperma induk jantan yang bertugas membuahi diperoleh dengan cara mengorbankannya (dibunuh) kemudian diambil gonadnya. Sebelum induk betina diambil telurnya terlebih dahulu disediakan wadah yang terbuat dari plastic ataupun kaca dan beberapa bulu ayam untuk meratakan/ mencampur. Jangna menggunakan wadah yang terbuat dari seng atau aluminium (Santoso, 1993).
Pertama-tama tangkaplah induk betina. Peganglah bagian dep[an dan belakang. Untuk mencegah agar induk tidak lepas saat di stepping gunakanlah handuk basah untuk memegangnya. Agar telur dapat keluar dengan sempurna urutlah sampai agak berdarah.
Pada saat yang bersamaan gonad lele jantan yang telah dipersiapkan dipencet supaya mengeluarkan mani. Kemudian, campurlah sperma dan lelur tadi menggunakan bulu ayam secara perlahan-lahan sampai tercampur merata. Agar tidak terlalu kental, di dalam wadah tadi dapat ditambahkan air bersih sedikit demi sedikit. Beberapa saat kemudian telur terbuahi (Santoso, 1993).
Telur yang telah dibuahi dimasukan kedalam kolam penetasan yang sebelumnya ditaburi ijuk sebagai media melekatnya telur. Karena sifat telur yang mudah melekat satu sama lain maka cara memasukaannya harus setipis mungkin. Jika lapisan terlalu tebal jumlah telur yang menetas terlalu sedikit. Dalam tempo 24-36 jam telur akan menetas (Santoso, 1993).
Lama pemeliharaan benih 14 hari atau atau 2 minggu. Selama pemeliharaan berilah pakan bergizi tinggi seperti kutu air, cacing rambut (tubifek), atau jentik nyamuk hidup dan pakan alami lainnya scara rutin yang cukup jumlah dan mutunya. Pertumbuhan benih setelah dipelihara 2 minggu mencapai 2-3 cm (Santoso, 1993)
0 komentar:
Posting Komentar